إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنّهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتبِ أُوْلئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّعِنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nat.” (QS. Al Baqarah (2) : 159 )
Al Qur’an adalah petunjuk, bukan sekedar pengetahuan. Namun untuk disikapi, untuk memupuk ketakwaan, hidup di jalan Allah dengan penjelasan yang terang. Singkatnya, untuk meredam gejolak, untuk ditegakkan bersama Allah dalam diri dan lingkungan. Membacanya ialah menerapkannya dalam kehidupan:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Rabbmu yang Menciptakan”. (QS. Al ‘Alaq (96) : 1)
Tapi jangankan menegakkan dalam lingkungan, dalam diri saja sudah amat berat. Berat untuk si nafsu. Memang, satu-dua kali tersentuh oleh firman-Nya, haru hati oleh kemaha-muliaan-Nya; seolah nafsu luruh sebagai terompah, bertekad hijrah menuju Illahi, simpuh bersujud sebagai tanda keimanan.
فَآمَنَ لَهُ لُوْطٌ وَقَالَ إِنِّى مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّى
“Maka telah berimanlah Luth dan ia berkata : “Sesungguhnya aku akan berhijrah kepada Rabbku ………”. (QS. Al Ankabuut (29) : 26)
Namun, lebih sering nafsu sudah memberontak kesakitan bila menginjak kerikil kecil! Begitulah, diri tak kunjung lurus terpimpin oleh-Nya. Apa boleh buat, ternyata kesadaran itu masih bertopeng dan berjubah kemunafikan!
وَإِذَآ أَنْعَمْنَا عَلىَ اْلإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِ وَإِذاَ مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوْسًا
“Dan apabila Kami beri ni’mat kepada manusia berpalinglah ia; dan ia menjauhkan dirinya,; dan apabila kesusahan menimpanya berputusasalah ia.” (QS. Al Israa (17) : 83)
Manusia Jangkrik.
Jangkrik bersuara nyaring, seperti tak inginkan saingan. Malah, bila bertemu sejenisnya, tak jarang jangkrik beradu kepala. Yang lebih keras kepala, dialah sang jagoan! Sungguh sayang, nasib si jangkrik jagoan umumnya berakhir di kerangkeng aduan milik bocah-bocah kampung. Di kerangkeng bambu itu, nasibnya amatlah mengenaskan; kalau bukan dikilik supaya mengerik, ia dikilik untuk beradu kepala! Akibatnya; kaki patah atau sungut antenanyalah yang putus. Jangkrik yang pongah nampaknya hidup sia-sia.
Sia-sia,
Karena manusia dicipta-Nya bukan sekedar menyuarakan ilmu teori tanpa bukti nyata kemakmuran ruhani jasmani. Juga bukan untuk bicara tanpa hakekat kebenaran atau untuk beradu argumentasi akal kepala. Manusia telah dibekali-Nya dengan potensi diri yang tertata rapi. Lurus kokoh-kuat-indah potensi fitri manusia: ruh, rasa-akal hati dan nafsu.
Rasa-akal-hati berpilin sempurna, mengendali manusia. Ruh adalah titisan kesucian-Nya; hati pengambil keputusan perbuatan, sedangkan nafsu-logika sekedar pelaksana. Hati yang tegak kepada Illahi adalah tahta-Nya, berfungsi meneruskan getaran illahiah, bukti nyata adanya tali hubung kasih dan cinta antara Allah dan hamba. Getaran Illahiah itulah tali Allah penyelamat hidup manusia. Getaran itulah yang seharusnya ditangkap oleh “antena” hati, wadah akal fitrah. Kondisi fitrah setiap manusia itu tercapai bila ia menyediakan hatinya sebagai tahta Illahi, dan itulah kondisi manusia khalifah;
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ……”. (QS. Al Baqarah (2) : 30)
Jelas bahwa manusia yang kembali fitrah bukanlah sejenis dengan manusia jangkrik yang senang adu kekerasan logika akal-kepala, bukan pula yang menganggap diri dapat mengatasi semua persoalan hidup. Ia adalah yang tergantung mutlak kepada Rabbnya, karena sadar siapa Yang Maha Mengetahi keselamatan hidupnya. Ia selamat justru karena hanya berpegang erat pada tali Allah.
Manusia jangkrik mulai ingin tunduk-patuh, bertakwa. Ia mulai bertekad tak mau lagi bermaksiat hati dengan mengandalkan ilmu diri, yang terbukti hanya menyakitkan kepala dan mematahkan antena! Pening kepala karena ilmu diri tak dapat menjawab hidup hakiki. Ia mulai bertekad mendekat kepada Rabbnya. Dia Allah pun menganugerahkan segalanya; kebersamaan dengan-Nya sebagai ganti ketenaran diri, kasih-sayang-Nya indah tak terbandingkan, oleh kasih ibu manapun. Manusia jangkrik tersenyum, mulai penuh harap dan optimis menghadapi hidup. mulai terbuka akal-hatinya bahwa yang lebih berguna untuk membebaskan diri bukan sayap luarnya yang keras, namun yang bagian dalam! Sayap halus hatinyalah yang mengantarnya jumpa kedamain dan kebenaran hakiki. Mengiringi kedamaian ruh untuk jumpa kembali Rabbnya! Bersaksi kembali kepada-Nya seperti di alam ruh.
……. أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلىَ شَهِدْنَآ ……
“Bukankah Aku Rabb kalian?” Mereka berkata: “Ya betul, kami menyaksikan ……” (QS. Al A’araaf (7) : 172)
Lumut hati.
Memang, sungguh berbeda teori dan kenyataan. Ketika Dia Allah seakan berlari menyambut si hamba yang baru selangkah hendak mendekat pada-Nya, seolah dengan santun, Dia Allah pelan-pelan hendak memberi bukti bahwa yang dicintai Manusia Jangkrik tak ada guna. Menjeritlah si Manusia Jangkrik hendak berpisah dengan kesia-siaan gelanggang adu kesombongan ilmu suara tanpa bukti nyata. Diri tak rela kehilangan kebanggaan. Makin tebal lumut hati oleh manisnya penghargaan ilmu-ilmu bunyi-nyaring-jangkrik tanpa hakekat, makin terasa sakit bagi si hamba.
Maksud baik Dia Allah hendak memberi bukti dan kemudian mengganti ilmu diri dengan ilmu hakiki, disambut si hamba dengan keluhan! Tak rela berpisah dengan penghargaan-pengakuan dari lingkungan! Dihargai dan diakui memang ni’mat. Tapi sesungguhnya itulah hijab pemisah hati dan Rabbnya. Tak disadari, itulah maksiatnya hati terhadap Al ‘Aliim. Tak sadari, itu pula jalan Fir’aun; merasa mengetahui segala, seolah ilmunya menguasai alam. Bermegah-megah dalam puncak kesombongan keilmuan, tak sadar telah mendustai kebenaran hakiki yang dibawa oleh Rasul-Nya;
أَمْ أَنَاْ خَيْرٌ مِنْ هذَا الَّذِى هُوَ مَهِيْنٌ وَلاَ يَكَادُ يُبِيْنُ
“Bahkan bukankah aku lebih baik daripada orang ini yang hina dan hampir tak bisa menerangkan (kebenarannya)?” (QS. Az Zukhruf (43) : 52)
Manusia jangkrik menyesal termangu memandangi hati yang penuh Lumpur dan lumut kesombongan. Tersentak ia oleh suara halus nuraninya; patutkah kau beradu kepandaian dengan Dia Allah Yang Maha Mengetahui, yang justru hendak mengajarimu? Padahal Dia Allah hanya akan menempati hati yang telah pantas menjadi tahta-Nya, yang kosong bersih hanya terisi cermin sifat asma-Nya Yang Maha Indah
Di hatilah Allah akan memudahkan pemahaman ilmu-ilmu qur’ani yang hakiki, bukan di logika,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَه وَقُرءَانَهُ ……… ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Sesungguhnya mengumpulkannya dan membacanya itu adalah atas tanggungan Kami ……… Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. Al Qiyaamah (75) : 17 dan 19)
Giling Tebu, Taubat Nafsu.
Andaikata sang jangkrik makhluq berakal-budi, ia sebenarnya dapat belajar dari tanah tegalan tempat orang menanam tebu. Kulit tebu dan sayap jangkrik, keduanya sama-sama keras. Kulit tebupun ada yang hitam seperti sayap luar jangkrik. Tapi, tebu bermanfaat untuk manusia. Kulit dipecah, serat digiling, air disuling dan diproses mengkristal. Manusia berubah seperti putih-manisnya kristal-kristal gula, karena tertatanya kembali susunan rapi semua potensi diri. Rasa-akal-hatinya sekedar sebagai buluh penyalur getaran Illahiah dan air ruhani yang menetas, pembuat sejuk dan subur lingkungan. Membuat tunas keimanan dan keilmuan tumbuh kokoh dan tegak lurus ke arah baik-benar-indah menurut ukuran Allah.
Manusia jangkrik merenung makna kekhalifahan diri. Betapa bahagia jika memfitrah kembali seperti itu, menjadi manusia yang memang dicipta-Nya menjadi khalifah. Bertaubat, adalah menjadi tebu, siap digiling; jera diri mengembara di daerah angkara kepalsuan nafsu. Bertaubatnya adalah pertanda bahwa diri tak lagi mau bermaksiat hati, tak mau lagi tak mengesakan Allah! Tunduknya nafsu, meskipun sakit, sesungguhnya adalah rahmat. Itulah awal dari tegaknya Al Qur’an dan perbaikan dalam diri. Dan bertaubat bukanlah dunia teori, tak cukup hanya berkata kosong.
إِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا وَأَصْلَحُوْا وَبَيَّنُوْا فَأُوْلئِكَ أَتُوْبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka mereka Itulah yang Aku ampuni dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2) : 6)
sumber: http://hikmahrenunganmalam.wordpress.com